Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengarungi "Lautan Dewa" di Pegunungan

Mengarungi Desa Lautan Dewa di Pegunungan
Bismillah...tulisan bergenre saba desa ini akan menceritakan secara singkat tentang sebuah desa di mana saya lahir dan dibesarkan. Di daerah nan sejuk dan indah ini tersimpan romantika kehidupan yang tak mudah dilupakan. 



Namun sebelum dilanjutkan saya mohon izin untuk menceritakan sebuah peristiwa yang terjadi antara kurun tahun 2013-2015. Waktu itu saya menjadi panitia sebuah event tingkat kabupaten Kuningan. Di kepanitian tersebut saya berkenalan dengan seorang teman baru yang secara kebetulan menjadi partner saya dalam kepanitiaan. Saat kami berkenalan satu sama lain. Terlihat wajahnya terkejut sambil berkata, "oh... saya pernah ke Sagarahiang juga...". Saat dia mengetahui kalau saya berasal dari Sagarahiang.




Konon katanya dia pernah ke Sagarahiang dalam rangka bimbingan skripsi kepada salah seorang dosennya. Dia mengatakan bahwa sesampainya di Wates (batas desa) ada perasaan yang aneh. Rasanya seperti memasuki sebuah negara baru dengan berjuta pesona gaib. Lebih kaget lagi setelah memasuki desa. Agak jauh sebelah kulon rumah dosennya seperti ada semacam cahaya pusaka.


Kejadian ini membuat dia bertanya-tanya. Dan pada suatu kesempatan dia memberanikan diri untuk bertanya kepada gurunya (mungkin guru tarekatnya) karena saya melihat teman saya ini pengamal tarekat tertentu. Dari gurunya ini dia mendapat jawaban bahwa memang Sagarahiang ini beliau sebut sebagai "Negara Parahyangan". Entah apa maksudnya, saya sendiri tidak tahu. Mungkin boleh jadi nyambung dengan sejarah desa Sagarahiang di masa lalu.

Sagarahiang, nama desa tersebut. Desa yang indah, sejuk dan damai. Berada di ketinggian bukit wilayah kecamatan Darma Kabupaten Kuningan. Dari beberapa literatur saya menemukan bahwa kata Sagarahiang berasal dari dua kata, yaitu Sagara artinya lautan/samudera dan Hiang/Hyang bermakna dewa. Jadi, Sagarahiang bisa dimaknai sebagai lautan dewa. Namun juga ada yang memaknai Sagarahiang sebagai "Sagala ilang". Hal ini dikaitkan dengan masa masuknya Islam. Di mana ketika pengaruh dakwah Islam masuk ke daerah ini, maka para leluhur yang beragama non islam semuanya ngahiyang (menghilang). Wallohu 'alam.



Memang demikian adanya, tidak berlebihan dan tanpa mengada-ada. Bahwa nama "lautan dewa" sendiri sangat "surup" dengan keadaan. Pasalnya di desa ini terdapat beberapa situs purbakala seperti Situs Lingga, Situs Sanghiang, Purnajiwa dan lainnya. Situs-situs tersebut hingga kini masih memancarkan kekahyangannya. Selain itu, masyarakat di sini pun masih kental dengan tradisi leluhur baik dalam pergaulan sehari-hari yang dipageri dengan kata pamali maupun seremonial tahunan yang disebut babarit (ulang tahun desa). Dalam upacara ulang tahun desa ini seingat saya kurang lebih ada 45 nama karuhun yang ngageugeuh wilayah desa ini. Hal ini menunjukkan bahwa desa ini kaya dengan tradisi asli babad sunda.


Karena karuhun sunda identik dengan religius, kepanditaan, kebatinan. Maka setelah Sagarahiang diislamkan oleh para wali, religiusitasnya pun dari hari ke hari semakin membaik. Disamping tradisi yang masih kental dipegang oleh masyarakat setempat. Namun tentunya tradisi yang sudah diislamisasi oleh para pendawah dari zaman ke zaman. Seperti yang diketahui dari beberapa literatur bahwa para pelopor dakwah di Sagarahiang itu dikomandoi oleh empat orang wali yakni:

  1. Eyang Syekh Maulana Akbar (Babakan Dayeuh)
  2. Eyang Syekh Abdus Salam (Babakan Dayeuh)
  3. Eyang Syekh Abdus Salim (Babakan Dayeuh)
  4. Eyang Syekh Mangun Dana (Muncang Heuleut)
Mereka berdakwah tentunya dengan metode para wali yang penuh hikmah. Mengingat tidak mudah mengislamkan sebuah masyarakat yang didominasi oleh aliran kepercayaan para leluhur. Jangankan waktu dulu saat para leluhurnya masih hidup. Sekarang juga meskipun sudah islam tidaklah mudah untuk dakwah agar keislaman masyarakat lebih baik.

Bersyukur kepada Allah, masyarakat sagarahiang dari tahun ke tahun semakin maju. Baik dalam bidang keagamaan (Islam 100%), pendidikan, dan infrastruktur. Dalam bidang keagamaan misalnya desa ini merupakan lumbung bibit qori-qoriah tersubur di kecamatan Darma. Ini terbukti dengan diraihnya juara umum MTQ tingkat kecamatan dua kali berturut-turut.

Begitu pula dalam bidang pendidikan. Pada awal tahun 2000 an anak yang sekolah SMP ke atas paling hanya sekitar dua angdes. Namun sekarang lebih dari dua angdes. Belum lagi yang naik motor. Dan kalau bicara infrastruktur. Anda yang lama tidak mengunjungi Sagarahiang lagi akan tercengang melihat bangunan yang mentereng di sepanjang jalan desa Sagarahiang. 

Hal ini cukup menunjukkan bahwa Sagarahiang dari tahun ke tahun semakin maju. Meskipun di sisi lain masih ada yang perlu diperbaiki, misalnya gaya hidup dalam pengelolaan sampah, gaya bertani yang sudah terlalu kapitalis tanpa mengindahkan kesehatan unsur hara tanah karena bercocok tanam tanpa diselingi padi, gotong royong kerja bakti yang mulai menghilang dan lain-lainnya yang menjadi PR bersama untuk diatasi bersama-sama, baik aparat maupun masyarakat. 

Untuk sementara sekian. Nanti saya lanjutkan tulisan genre saba desa ini, baik tentang Desa Sagarahiang maupun desa-desa lainnya. Semoga bermanfaat.





Posting Komentar untuk "Mengarungi "Lautan Dewa" di Pegunungan"