Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sepaket Sepakat

Sepaket Sepakat
Entah kenapa kalau saya melihat para guru yang pernah mengajari semasa sekolah, seperti nampak awet muda. Dulu saat masa kanak-kanak hingga remaja mereka mengajari kita, sekarang kita sudah beranak pun hanya sedikit perubahan dari mereka. Mereka seperti langgeng muda, sementara kita muridnya menyalip tua. Mungkin perasaan seperti ini pernah hinggap juga di benak anda ya? Tapi entahlah mungkin hanya perasaan saya saja. 

Namun jika kita telusuri, banyak faktor yang menjadikan guru awet muda. Diantaranya:

  1. Mereka selalu rutin bergaul dengan orang yang lebih muda. Buktinya murid-muridnya yang setiap tahun silih berganti. Istilahnya gugur satu tumbuh seribu. Lulus yang ini, yang dini lagi. dan seterusnya;
  2. Mereka selalu mampu keluar dari kemelut problematika kehidupannya. Karena dengan bertemu banyak orang dan menyampaikan ilmu, mungkin juga sedikit curhatan atau pengalaman. Maka otomatis beban masalah pun berkurang;
  3. Mereka selalu menemukan ilmu baru. Nah, pengalaman seperti ini sangat penting sekali. Namun jarang disadari. Padahal hampir setiap guru mungkin akan menemukan ilmu baru saat berinteraksi dengan setiap individu inskan sivitas akademika;
  4. Mereka yang berprofesi sebagai pendidik memiliki pahala jariyah. Mengalir tiada henti efek dari ilmu yang bermanfaat. Bahkan lebih dari itu, seorang senior saya bilang Guru:Profesi Paling "Serakah" karena dengan menjadi guru peluang mendapatkan pahala jariyah dari tiga kebaikan berupa do'a anak sholeh, shodakoh jariyah dan ilmu yang bermanfaat bisa diborong ketiga-tiganya;
  5. Dan mereka sering juga terhibur dengan perilaku murid-muridnya yang kadang menggelitik lucu, dan masih banyak lagi faktor lainnya.
Saat ini saya juga tengah merasakan romantika rasa "nano-nano"nya menjadi  guru. Satu sisi guru itu merupakan amanah yang tidak ringan, karena membawa misi harus bisa digugu dan ditiru. Sisi lain, dunia pendidikan itu merupakan panggilan jiwa yang mampu menentramkan jiwa. Termasuk ketika ditemukan hal-hal yang menggelikan dari kelakuan para siswa.

Sebagai misal, suatu ketika tatkala masa penerimaan siswa baru, MOS atau sekarang disebut MATSAMA untuk pendidikan madrasah di bawah naungan kemenag. Pada sebuah sesi lomba, panitia mengadakan lomba ranking satu. Mengacu pada sebuah tayangan TV, dalam acara ini para siswa baru sebagai peserta di uji dengan sejumlah pertanyaan. Juara rangking satu adalah anak yang mampu menjawab terus-menurus dan bertahan satu-satunya. Sementara yang lain gugur karena tak mampu menjawab pertanyaan.

Nah, disela-sela pertanyaan yang diberikan guru, ada jawaban yang menggelitik. Benar namun lucu. Terbukti semua yang mendengar tertawa terpingkal-pingkal hingga saya pun tak mampu menahan tawa. Apa pertanyaan dan jawaban yang fenomenal tersebut? Sebenarnya pertanyaan sederhana tentang pengetahuan umum. Panitia waktu menyampaikan soal tentang siapakah yang pertama kali menciptakan bola lampu. Pertanyaan tersebut langsung disambut oleh salah seorang peserta dengan penuh percaya diri dan suara yang lantang. Apa jawabannya? "DOKTERANDES TOMAS ALPA EDISON", kata siswa tersebut. Benar sih jawabannya. Tapi sejak kapan si doi bergelar Drs.? hehehe.

Waduh, ngomong tentang Thomas Alfa Edison kira-kira icon apa saja yang terbayang? Ya betul. Saya juga seperti Anda. Terbayang sifat ulet, tekun, rajin, pantang menyerah, tak kenal putus asa, sabar, gigih dan sejenisnya. Emang apa istimewanya? Bayangkan saja sama Anda, untuk menghasilkan bola lampu yang akhirnya bisa kita nikmati hingga hari ini, seorang Thomas Alfa Edison melakukan percobaan hingga lebih dari 1000 kali. Andai saja si Thomas tersebut suka berputus asa, mana mungkin dia berhasil melewati seribu kali kegagalan. Faktanya dia jatuh bangun bangkit dari kegagalan demi kegagalan eksperimennya untuk mencapai sebuah kesuksesan. Walhasil dunia menjadi terang benderang wasilah penemuannya dalam bola lampu ini.

Lalu apa pelajaran berharga yang dapat kita gali? Mau tak mau kita harus menyadari bahwa dalam hidup ini gagal dan sukses adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Seperti pasangan lainnya. Anda tidak akan disebut orang kaya kalau tidak ada pembanding berupa orang miskin. Anda tidak akan disebut pandai kalau tidak ada yang bodoh. Demikian pula Anda tidak disebut sukses kalau tidak ada yang gagal. Bahkan dibalik kesuksesan seseorang boleh jadi terdapat banyak kegagalan yang pernah dialaminya. Hanya saja tidak sedikit  orang salah menyikapi kegagalan. Mereka mudah berputus asa dalam satu-dua kali kegagalan. Bahkan lebih parah lagi sudah menyerah sebelum berusaha mencobanya. Istilah Sundanya, kumeok memeh dipacok. Kalah sebelum bertanding. Nah mental seperti inilah yang mesti kita perbaiki agar hidup lebih hidup lagi.

Dan pada akhirnya kita perlu merenung bahwa gagal dan sukses itu satu paket. Meminjam istilah ustadz Nasrullah ibarat permen yang manis maka permen tersebut satu paket dengan bungkusnya. Pertanyaannya ketika saya hendak memberi Anda tiga buah pilihan permen, mana yang akan Anda pilih?
  1. Permen utuh lengkap dengan bungkusnya?
  2. Isinya saja berupa permen yang manis?
  3. Bungkusnya saja?
Sebagai orang normal saya yakin anda kemungkinan akan memilih nomor satu. Kenapa? Karena kalau Anda memilih isinya saja, boleh jadi anda curiga kalau permen itu sudah saya jilat, jadinya zizi, jorok, hehehe. Demikian juga kalau memilih bungkusnya saja, apa yang mau Anda nikmati. 

Seperti halnya sepaket permen dengan bungkusnya, maka ujian kepahitan dan kebahagiaan mesti kita sikapi dengan positif. Kegagalan dan kesuksesan harus kita hadapi dengan sikap terbaik. Sebagai muslim jika mengalami kepahitan, ujian, kegagalan dan sebagainya, maka sikap terbaik adalah sabar. Sabar bukan berarti diam tak berusaha. Melainkan melakukan usaha maksimal seperti halnya jatuh bangunnya Thomas Alfa Edison dalam menemukan bola lampu. Demikian pula jika menemui keberhasilan, kesuksesan dan sebagainya maka sikap terbaik adalah penuh syukur kepada Allah Swt. 

Intinya kegagalan atau pun kesuksesan adalah satu paket. Ujian sesungguhnya adalah bagaimana kita menyikapinya. Sepakat?

1 komentar untuk "Sepaket Sepakat"