Habis Menanam, Tibalah Memanen
Sebagai orang yang terlahir di lingkungan masyarakat agraris, saya sudah merasa akrab dengan berbagai tanaman palawija sejak kecil. Hamparan sawah ladang yang membentang adalah lanskap yang terekam dalam memori hampir setiap hari. Menyaksikan langsung aktivitas rutin para petani sudah menjadi langganan pemandangan setiap saat. Menatap mereka, membuat hati berbisik, “Betapa bahagianya para petani”. Semoga saja benar, sesuai dengan arti harfiyah petani dalam bahasa arab yaitu ‘Al-Fallah’, yang derivasinya sama dengan Al-Falah dalam kalimat adzan. Hayya ‘alal falah! Marilah kita mencapai kebahagiaan.
Bukan hanya sesekali saya menyaksikan aktivitas petani, melainkan sejak mereka menanam hingga memanen. Tak terasa bermunculan inspirasi yang membentang dari hulu ke hilir pesawahan. Salah satu inspirasi tersebut adalah tentang filosofi menanam dan memanen. Dalam pepatah Sunda dikatakan, “melak cabe moal jadi bonteng, melak bonteng moal jadi cabe. Melak hade moal jadi goreng, melak goreng moal jadi hade”. Arti harfiah dalam bahasa Indonesianya yaitu menanam cabai tidak akan jadi timun, dan begitu sebaliknya.
Sedangkan makna pepatah tersebut mengajarkan kepada kita bahwa apa yang kita alami saat ini merupakan akibat dari perbuatan kita sendiri. Kalau kita melakukan perbuatan baik maka suatu saat akan mendapat ganjaran kebaikan. Sebaliknya jika kita berbuat buruk, tunggu saja akibat dari perbuatan buruk tersebut. Baik buruknya perbuatan kita akan ada akibat di kemudian hari. Dan jika hasilnya tidak terbukti di dunia, maka di akhirat itu sudah pasti ada. Karena akhirat itu disebut Daarul Jaza atau tempat balasan amal.
Dan terkadang balasan itu tidak harus menunggu di akhirat. Oleh karena itu kita harus hati-hati dalam berbuat. Berpikir sebelum berbuat jelas lebih baik daripada berbuat sebelum berpikir. Karena berpikir belakangan menunjukkan penyesalan. Sedangkan waktu yang telah berlalu tidak bisa terulang kembali.
Jangan menyalahkan orang lain ketika efek dari perbuatan buruk bertubi-tubi menghampiri. Justru seharusnya kita sadar, dan memperbaiki diri dengan tobat yang sebenar-benarnya. Tidak bijak kalau terus-menerus melakukan pembenaran. Padahal hati nurani berkata, bahwa inilah hasil dari perbuatan yang pernah dilakukan.
Dan kalau direnungkan lebih mendalam, sebenarnya bukan tidak ada yang menasihati. Karena perubahan dalam fisiologi organ tubuh kita sendiri merupakan indikasi. Kulit yang mulai keriput adalah nasihat. Rambut yang mulai memutih juga nasihat. Gigi yang kerap terasa linu juga nasihat. Ingatan yang seringkali lupa juga nasihat. Bahkan segala perubahan yang kita rasakan sejatinya adalah nasihat yang patut kita renungkan.
Ingat tak ada yang abadi di dunia ini. Semuanya fana. Segalanya berkesudahan. Dan bagi manusia, akhir dari kehidupan di dunia adalah kematian. Namun kematian ini bukanlah akhir dari segalanya. Justru dengan berakhirnya kisah hidup kita di dunia merupakan awal dari fase kehidupan baru yang lebih lama. Dan setelah memasuki fase kehidupan baru tersebut, tak ada lagi kewajiban-kewajiban yang sering kita anggap beban. Shalat, puasa, zakat, haji, sedekah dan ibadah lainnya hanya tinggal kenangan. Orang yang didunia mengabaikan ibadah, maka di akhirat akan merindukannya sambil menyesali karena harus menemui balasan yang lebih menyakitkan.
Maka selagi muda, mari kita berkarya tanpa harus meninggalkan ibadah. Selagi sehat, mari kita berbuat kebaikan tanpa harus meninggalkan kewajiban. Selagi sempat, jangan tunggu kesibukan menghampiri. Selagi kaya, segera banyak berderma, jangan sampai menunggu masa ketika orang tak sudi lagi menerima sedekah anda. Dan selagi hidup manfaatkan setiap helaan nafas agar bernilai ibadah. Nasihat dari Allah tertulis, kebaikan atau keburukan yang kita perbuat meskipun sebiji sawi akan ada balasannya.
Posting Komentar untuk "Habis Menanam, Tibalah Memanen"