Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bersama Menyibak Kemelut Kabut Pendidikan

 

Bersama Menyibak Kemelut Kabut Pendidikan

Kabut pagi saat perjalanan ke tempat kerja mengingatkan pada sebuah cerita seseorang yang berjalan di tengah badai. Dia hampir menghentikan kemudinya seperti pengendara lainnya. Namun, ibunya bak sang motivator, terus memotivasi anaknya agar meneruskan perjalanan. "Ayo jalan walaupun merangkak hingga di depan sana kau tak menemukan badai". Dan benar sekali, kini dia bisa menengok badai itu masih berlangsung, jauh di belakangnya. Sedang dirinya bisa melanjutkan laju roda empatnya lebih kencang dalam suasana yang normal.

Hari ini lebih mendung dari biasanya. Kabut menggelayut seolah melambaikan tangan padaku agar berhenti. Dan kembali lagi. Andai saja tak kupaksakan bergerak, maka mungkin sepagi itu tubuhku masih dibalut selimut. Dingin, beku, dan gulita. Tetapi karena sudah terlanjur keluar, lanjutkan saja perjalanan ini hingga di batas terang di balik kabut hitam. 

Dan setelah melewati beberapa kilometer kabut pun seoleh menyingkir. Aku merasa lega, karena bisa keluar dari kemelut. Hijaunya pesawahan makin menyegarkan penglihatan. Semburat cahaya menghangatkan suasana, meskipun sang surya masih nampak malu-malu. Alhamdulillah cuaca sedikit cerah. Kondisi ini menawarkan harapan besar. Semoga ke depan semakin membaik.

Meskipun demikian, dalam berjalan aku terus meningkatkan kewaspadaan. Karena jarak yang akan ditempuh pun belum sampai setengahnya. Dan ternyata benar, sekitar 2/3 perjalanan yang telah berlalu, kabut pun kembali menunggu. Tidak kalah dari sebelumnya, pagi ini terasa petang. Meskipun tak layak kalau dikatakan gulita, namun cukup mengganggu jarak pandang para pengendara. Walhasil, dengan terpaksa kunyalakan lampu penerang jalan demi menjaga keselamatan.


Dari kabut ke kabut. Itulah gambaran perjalananku pagi ini. Seperti halnya kondisi cuaca yang tak secerah biasanya, begitulah kondisi belajar di saat pandemi. Anak-anak belajar tak tentu arah. Rasa rindu ingin kembali ke sekolah nampaknya harus dipendam ulang, karena status pandemi belum  juga berakhir. Setiap ada secercah harapan, selalu ada kabut penghalang entah berupa regulasi pemerintah yang berubah sesuai dengan situasi memerah atau menghijaunya status pandemi di daerah ini. Padahal, sebelumnya beberapa siswa sudah sumringah bahagia di saat ada tugas membersihkan ruang kelas mereka. "Mudah-mudahan sebentar lagi masuk sekolah normal", harapannya.

Dan bukan hanya para pelajar yang asanya tak kunjung terlaksana. Para pengajar juga merana. Mereka sebenarnya sudah muak dengan seabreg masalah belajar daring. Karena bagaimanapun juga mengajar di kelas maya ini tak bisa mengalahkan keefektifan mengajar di kelas nyata. Bukan karena pengajar tak mengikuti majunya era digital, namun kondisi ini telah memberi sumbangsih terhadap sisi-sisi lain dari hikmahnya interaksi dengan anak manusia bernama sisiwa. Entah seperti apa generasi penerus ini nantinya seandainya pandemi tak jua berhenti.

Meskipun demikian, harapan tak boleh padam. Kondisi pendidikan yang dilanda kabut jangan membuat kita kalut. Keluarlah dari kemelut ini. Jangan takut berinovasi, meskipun hanya membuat sepenggal kalimat dalam catatan harian. Karena setiap tulisan harapan yang keluar dari hati akan menjadi do'a. Dan Allah Swt Maha Mendengar setiap keluhan hamba-Nya. Bermunajat, bermohon pada-Nya agar Allah menurunkan pertolongan dari segala musibah dan bencana, termasuk wabah yang saat ini tengah melanda.

Dalam kondisi apapun kita harus selalu termotivasi untuk berkarya, berbuat yang terbaik dan bermanfaat. Dan carilah pemicu semangat yang dapat membuat kita bergerak, berinovasi, dan bersyukur tiada henti. Karena sejatinya, masih banyak nikmat Allah yang belum kita syukuri. Yakinlah, kabut pendidikan ini akan segera berlalu. Habis itu terbitlah cahaya kemenangan yang membahagiakan semesta. Insyaa Allah.

Posting Komentar untuk "Bersama Menyibak Kemelut Kabut Pendidikan"