Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Diary Rasa Syukur

syukur nikmat iman
Dalam tajuk kuliah subuh ramadan di sebuah masjid kampung seorang mubalig menyampaikan tausiyah bertema 4 (empat) cara merayakan hari kemenangan. Diantaranya dengan bersyukur, shalat, dan mengagungkan asma Allah (bertakbir) serta bersilaturahmi lahir batin kepada sesama manusia. Ceramah di penghujung Ramadan tersebut berfungsi sebagai media muhasabah berjamaah sekaligus ajang halal bihalal antar jamaah pengajian. Alhamdulillah meskipun sudah di akhir kegiatan, animo masyarakat terutama emak-emak sangatlah tinggi. Ini terbukti dengan masih penuhnya masjid dengan kehadiran mereka.

Dari kesempatan tersebut ada beberapa hal yang perlu dicatat sebagai bekal bagi kita merayakan lebaran yang masih kita nikmati suasananya hari ini. Dalam kesempatan ini penulis akan menyoroti tentang bersyukur. Puasa dengan rangkaian kegiatan ibadah lainnya merupakan paket spesial jalan taqarrub kepada Allah. Orang yang diseru Allah untuk berpuasa hanyalah orang beriman. Karena hanya orang beriman saja yang mampu menjalani titah ilahi ini. Mereka yang memiliki keimanan tinggi akan menyikapi kondisi lapar dan dahaga dengan menikmatinya. Sedangkan mereka yang kadar imannya rendah akan merasa terbebani dengan kewajiban saum ini.

Dan bagaimanapun juga menjalankan rangkaian ibadah di bulan Ramadan tidaklah mudah. Dibutuhkan perjuangan khusus bagi pemula. Kalau tidak percaya, bisa dibuktikan dengan anak-anak kita. Bagaimana beratnya anak-anak menjalani puasa pertamanya. Tidak sedikit orang tua harus memutar otak agar pembiasaan positif ini bisa berjalan sukses dan efektif. Dan akan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi orang tua ketika sang anak mampu menjalani puasanya dengan lancar. Tidak hanya bagi mereka yang masih belia, orang dewasa pun kadang merasakan berat kalau belum terbiasa.

Oleh karena itu, kemampuan kita untuk melaksanakan puasa Ramadan lengkap dengan aneka menu ibadah lainnya merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Bersyukur kita masih bisa puasa, karena boleh jadi, ada saudara kita yang belum mampu menjalaninya. Dan bukan karena kondisi tubuh ideal yang membuat kita kuat. Tetapi keimananlah yang menguatkan setiap langkah untuk tetap berada dalam jalan taat kepada Allah Swt.

Dan lebih luas dari itu, berpuasa ini merupakan bagian dari nikmat terbesar yakni nikmat iman dan islam. Setiap khutbah, ceramah, dan sambutan-sambutan dalam kegiatan yang bersifat islami para pembicara biasa mengawali mukadimahnya dengan hamdalah.  Di dalamnya menyebutkan kesyukuran terhadap nikmat terbesar ini. Nikmat iman islam menjadi pondasi, bahkan kunci keselamatan seorang muslim. Karena modal keimanan inilah yang akan memacu langkah untuk kembali menuju syurga Allah  Swt.

Akan tetapi, gempuran materialisme, hedonisme dan isme-isme negatif lainnya sering sekali mengaburkan rasa nikmat yang bersifat ruhani seperti ini. Egosentris dalam diri kita lebih mampu mengakui nikmat material daripada spiritual. Mungkin karena keimanan ini bersifat abstrak, sehingga bagi orang yang dikuasai materialisme tidak terasa keberadaannya. Baginya nikmat itu harus kahartos dan karaos. Jadi, hanya uang dan nikmat kebendaan lainnya yang bisa dirasakan.

Padahal orientasi seorang mukmin hendaknya lebih mengutamakan akhirat daripada dunia. Karena dalam beberapa ayat Alquran Allah berkali-kali mengingatkan bahwa akhirat itu lebih baik dari dunia. Bahkan kedahsyatan akhirat itu tak bisa dibandingkan dengan kenisbian dunia. Karena kerapkali kita mengalami disorientasi tujuan hidup, maka kita sering abai  terhadap nikmat iman ini. Dan ujung-ujungnya kita pun  lalai dari mensyukuri kenikmatan hakiki ini, tanpa kecuali nikmat berpuasa.

Sedangkan kenikmatan sendiri, jika disyukuri dengan baik, akan mengundang bertambahnya nikmat-nikmat lainnya. Dan inilah pengertian lain dari keberkahan. Karena keberkahan sejatinya adalah bertambahnya kebaikan. Dan semakin bertumbuh tanpa batas. 

Dalam suatu kesempatan, K.H. Yahya Mutamakkin, pengasuh Pondok Pesantren Madinah Munawarah, Semarang mengingatkan, “Kita harus senantiasa berfikir bagaimana agar bisa bersyukur, bukan bagaimana mendapatkan tambahan nikmat. Karena kalau kita memikirkan ingin ditambah nikmat, belum tentu bisa bersyukur. Sebaliknya, kalau kita bersyukur, maka otomatis nikmat akan ditambah oleh Allah Swt.”.

Oleh karena itu bersyukur terhadap nikmat Allah itu harus menjadi prioritas. Baik nikmat yang bersifat jasadi maupun ruhani. Bahkan setiap detik, selayaknya kita mencari 1001 alasan untuk tetap mensyukuri nikmat Allah. Catat dalam diary rasa syukur kita. Awali dengan Hamdallah. Setidaknya itulah prosedur syukur yang kita tempuh di level awal. Wallahu a'lam bishawab.

Kadugede, 03/05/2022 | 2 Syawwal 1443 H.


Posting Komentar untuk "Diary Rasa Syukur"