Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tantangan Akhlak Ketika Pandemi Menggalak

Pernahkah sobat ujug-ujug teringat nasihat seorang guru sekian puluh tahun yang lalu? Saya kira apa yang sobat alami juga tidak jauh beda dengan yang saya rasakan. Kadang mutiara-mutiara hikmah yang terlontar dari bapak ibu guru di lorong kelas itu baru terasa setelah 15-20 tahun yang akan datang. Contohnya salah seorang guru saya pernah bercerita bahwa untuk menguji karakter atau akhlak seorang siswa sederhana saja. Cukup pura-pura. Beliau pura-pura tidak melihat beberapa orang siswa yang berada di sampingnya.

Dengan begitu akan teruji siapa yang memiliki karakter baik atau sebaliknya. Siswa yang berkarakter baik biasanya langsung menyapa hormat kepada gurunya. Sementara yang lainnya ada yang pura-pura tidak melihat, entah karena malu atau justru kurang hormat terhadap guru.

Teringat ucapan guru zaman dulu tersebut, pada suatu hari saya mencoba menerapkannya. Itupun secara tak sengaja, di suatu kedai saya mendapati seorang siswa atau alumni yang nampak nyantri. Iseng-iseng mengikuti guru saya untuk menguji sejauh mana karakter siswa tersebut. Dan saya pun tercengang kaget karena tak menyangka anak sebaik itu performannya bisa cuek terhadap gurunya.

Dalam hati bergumam, ternyata begini rasanya menguji karakter siswa secara sederhana. Dan sepanjang pengalaman mengamati karakter siswa-siswa, kesimpulan sementara sungguh ironi. Mereka yang kategori pandai dalam akademik berbanding terbalik dengan yang biasa-biasa saja. Apakah keunggulan akademik membuat mereka arogan, mungkin sobat bisa membantu menjawabnya.

Sebaliknya, tidak jarang saya menemukan mereka yang kategori lemah dalam akademik, bahkan bermasalah saat di sekolah, namun lebih ramah saat berjumpa dengan gurunya. Saya belum mengerti fenomena apa ini. Ini terjadi pada siswa alumnus yang lulus jauh sebelum Pandemi Covid-19.

Saat ini karena masa pandemi kemungkinan menurunnya karakter mulia berupa sopan santun, tegur sapa, dan hormat kepada guru itu sangat mungkin meningkat. Karena kurangnya interaksi secara langsung antara siswa dengan gurunya. Apalagi para siswa yang baru masuk. Jangan-jangan mereka tidak mengenali siapa gurunya. 

Pantas saja kalau seorang sobat guru pernah curhat, bahwa anak-anak banyak yang tidak menyapa guru saat melewatinya. Boleh jadi ini efek negatif dari masa pandemi yang memaksa pembelajaran dilakukan jarak jauh. Beruntung bagi sobat guru yang berada di wilayah perkotaan dengan akses internet yang memadai bagi siswa. Sobat bisa bertegur sapa secara langsung melalui pembelajaran daring Sinkronis seperti menggunakan Zoom, Teams, Webex dan aplikasi telekonferensi lainnya. 

Sementara bagi siswa dan guru yang berada di wilayah pinggiran, akses komunikasi langsung dengan aplikasi seperti itu tidak mudah dilakukan. Alasan utama sobat juga sangat mengerti: Sinyal, kuota, dan bahkan tak punya Handphone. Sedangkan aturan tidak boleh belajar tatap muka terpaksa disamaratakan dengan wilayah perkotaan. 

Lalu bagaimana dengan nasib karakter siswa yang notabene mereka ini generasi penerus. Sebagai pemegang estapet perjuangan, mereka hendaknya memiliki peradaban yang mulia. Dan kemuliaan itu dimulai dengan karakter/akhlak. Sungguh menyedihkan kondisi saat ini. Dan semakin menyedihkan lagi keteika regulasi pemerintah untuk merumahkan siswa semakin diperpanjang.

Dalam kondisi seperti ini kita perlu berkolaborasi dalam berikhtiar untuk menyelamatkan anak-anak. Dan jika menyelamatkan akademik tidak bisa maksimal, maka menyelamatkan karakter akhlak ini perlu dilakukan terobosan yang luar biasa. Meminjam istilah bapak Presiden harus dengan cara Ektra Ordinary. Namun bagaimana caranya, tolong bantu jawab wahai sobat...

Mungkin jurus pamungkas yang selalu siap dalam segala kondisi hanyalah do'a. Do'a secara tulus dan serius kepada Allah Swt yang Maha Kuasa atas segalanya. Semoga pandemi segera berlalu, dan akhlak kita (guru, siswa, dan semua orang) tetap terjaga kemuliaannya. Amin

4 komentar untuk "Tantangan Akhlak Ketika Pandemi Menggalak"

  1. Betul sekali. Semoga ke depan Indonesia bisa menerapkan pembelajaran akhlaq yang dijadikan mata pelajaran dasar sebelum mapel eksak atau pengetahuan. Semoga.

    BalasHapus