Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buta Warna Merah Gegara Wabah


Ceritanya tadi malam saya mengikuti kegiatan rutin Yasinan, yaitu membaca surat Yasin secara berjamaah di musholla. Subhanallah, kaum pria hanya lima orang yang hadir. Selebihnya mayoritas emak-emak. Dan saya yakin mereka yang tak ada bukan karena anti Yasinan, melainkan ada alasan lainnya. Yang paling memungkinkan adalah karena malas dan capek. 

Sobat perlu tahu juga bahwa warga Desa kami sebagian besar punya mobilitas tinggi untuk kegiatan ekonomi, baik ke sawah maupun dagang ke pasar dan menjelajah ke berbagai daerah. Dagang sayur. Semangat mereka begitu tinggi tak terlalu goyah dengan isyu pandemi. Roda ekonomi di Desa kami terus berputar siang dan malam.

Selesai Yasinan rutin malam jumatan saya berbincang ringan dengan para jamaah musholla sambil mencicipi kacang rebus diselingi dengan teh panas yang maknyus. Begitu mengalirnya perbincangan kami tentang kondisi terkini yang dirasakan oleh masyarakat pedesaan. 

Lalu tiba-tiba saja terbersit pertanyaan, mengapa kita yang di desa harus juga disamakan dengan kondisi di perkotaan, jelas kita jauh berbeda dengan mereka? 

Di kota orang datang dari berbagai daerah. Mereka bahkan ada yang pulang-pergi keluar negeri. Maka pantas kalau diberlakukan protokol kesehatan yang super ketat. Sedangkan kita yang di desa, sehari-hari sebagai petani dari sawah ke sawah, dari kebun ke kebun, dan orangnya itu-itu juga. 

Sangat jarang sekali kita berinteraksi dengan orang yang dari luar. Apalagi dari perkotaan atau luar negeri. 

Kalau dihitung dan dirasa-rasa, kondisi pandemi ini kita sudah merasakannya sejak bulan Jumadil Akhir tahun yang lalu. Dan Sekarang sudah Jumadil Akhir lagi bahkan hari terakhir, karena besok Sabtu sudah masuk bulan Rajab. Itu artinya kita sudah mengalami masa pandemi ini lebih dari setahun. 

Lalu kenapa sampai selama ini bisa terjadi? Apa yang salah? Apakah penanganannya atau memang ada oknum yang sengaja menyeting kondisi ini agar terus berlanjut tiada henti? 

Dengan kondisi seperti ini sejatinya banyak masyarakat yang menjadi korban. Secara ekonomi pemasukan berkurang, secara umum kebebasan pun terbatas. 

Sementara itu, dalam kondisi yang menyakitkan ini masih terjadi kasus korupsi. Di mana nurani mereka, apakah mereka tidak punya hati? Belum lagi kalau bicara pendidikan, generasi ini seperti sengaja dibodohkan. Kita terlunta-lunta pada kondisi belajar para siswa yang tidak jelas juntrungannya.

Para guru mengeluh, orang tua dan anak-anak pun mengeluh. Bagaimana mungkin pembelajaran dengan cara seperti ini bisa membuahkan hasil yang maksimal, sementara ketika normal pun tidak mudah membelajarkan anak-anak dengan maksimal.

Siswa dan guru yang di perkotaan mungkin masih bisa memaksimalkan mode belajar daring menggunakan teknologi e-learning, seperti Google Classroom, Learning Management System (LMS) dan yang lainnya. Tetapi, apakah semua sekolah mampu melakukannya? Tentu tidak semua bisa. 

Apalagi sekolah di daerah pinggiran, kendalanya tidak sedikit. Diantara kendala yang klasik tentu masalah kuota, sinyal yang terbatas, bahkan tidak sedikit siswa yang beralasan tidak punya HP. Lalu, kapan mereka bisa belajar kalau kondisinya terus-menerus seperti ini? 

Belum lagi masalah mental yang tidak disiplin. Kendatipun misalnya orang tua sudah membelikan HP dan mengisi kuota. Namun apa yang terjadi, bukannya teknologi itu digunakan untuk belajar, melainkan dipakai hanya untuk bermain-main. 

Dan ini masalah yang semakin kompleks, sementara regulasi dari pemerintah pun terus berubah-ubah. Habis aturan ini diperpanjang dengan aturan itu. Sudah hampir habis masa berlaku yang ini, diperpanjang lagi dan lagi. 

Dan memang tidak mudah mematahkan argumentasi pemerintah, karena kondisi pendemi ini sudah menjadi wacana secara general, menjadi paradigma yang mendunia, bukan hanya lokal Indonesia. 

Dan saking parahnya kondisi ini, sampai-sampai saya lupa bahwa hari ini adalah hari libur. Saya sampai buta warna merah, tak mampu menyadari bahwa hari ini tanggal merah. Kenapa? Karena harinya sama saja, mau tanggal merah atau bukan, aktivitas belajar tetap di rumah dan mengajar pun dari rumah. 

Pertanyaan sederhananya, sampai kapan kita akan begini terus menerus ya, sobat?

Sagarahiang, 12/02/2021
Ditulis sambil tiduran, dengan metode menemu, menulis dengan mulut. Cara nulis ini terinspirasi oleh Pak Mampuono IGI.

2 komentar untuk "Buta Warna Merah Gegara Wabah"